Meskipun hari Santri Nasional sangat erat kaitannya dengan "Resolusi Jihad" NU pada masa perang kemerdekaan, tetapi sosok yang satu ini tidak terlepas dari sejarah yang melatar belakangi pemerintah menetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Dialah sosok panglima yang berjiwa santri ksatria, Jenderal Sudirman. Tanggal 24 Januari 1916 Sudirman dilahirkan di
Purwokerto daerah Karesidenan Banyumas Jawa Tengah. Sebagai seorang ustadz yang
terpanggil untuk berjuang membebaskan dan mempertahankan kemerdekaan negerinya,
Jenderal Sudirman meyakini jika perjuangan ini merupakan jihad fii
sabilillah, melawan kaum kafir. Sebab itu dalam situasi yang paling genting
sekalipun, Sudirman tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim.
Selain ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, Sudirman juga sering menunaikan
shalat lail dan puasa sunnah (Asren Nasution, h.71).
“Jenderal Sudirman selalu menjaga ibadah-ibadahnya.
Bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi jiwanya. Dalam gerilya di selatan
Yogya dalam perang kemerdekaan, Sudirman yang dalam kondisi sakit selalu
menjaga shalatnya juga shalat malamnya. Bahkan tak jarang dia juga berpuasa
senin kamis. Di setiap kampung yang ia singgahinya, dia selalu mendirikan
pengajian dan member ceramah keagamaan kepada para pasukannya,” tutup Mayor
SGH. Bukhori, perwira Hisbullah yang sempat ditemukan penulis di tahun 1966
sebelum beliau meninggal.Kesholihan Sudirman ini sampai ke seluruh penjuru
Nusantara. Sebab itu, para pejuang Aceh yang juga meyakini jika
perangkemerdekaan merupakan jihad fii sabilillah, begitu mendengar
panglimanya yang shalih ini sakit, mereka segera mengirim bantuan berupa 40
botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau. (Rizki
Ridyasmara, Grilya Salib di Serambi Mekkah, dari Zaman Portugis hingga Pasca
Tsunami 2006 h.100)
Sebagai pucuk pimpinan tentara, Jenderal Sudirman
membangun jejaring yang kuat antara pasukannya dengan laskar-laskar yang
berpusat di pondok-pondok pesantren. Saat pertempuran di Magelang dan kemudian
di Ambarawa, Sudirman sering terlihat ada di Payaman, Utara Magelang, dan
bekerjasama dengan pondok pesantren yang dipimpin Kiai Sirajd. Pondok pesanten
ini memiliki pasukan santri yang banyak dan militan, dikirim ke Ambarawa dan
berhasil memukul mundur Inggris/NICA. (Asren Nasution, h.91)
Pada pertengahan 1946, Jenderal Sudirman mengunjungi
lascar Hizbullah-Sabilillah Surakarta yang hendak berangkat ke medan jihad di
Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di kediaman Kiai Haji Adnan di
tegalsari. Dihadapan ratusan laskar, Jenderal Sudirman mengawali sambutannya
dengan mengutip Al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 10-11 dalam bahasa Arab yang
kemudian diterjemahkan sendiri:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Sambutan Jenderal
Sudirman itu sangat mengena di hati para anggota Hizbullah-Sabilillah
Surakarta. Semangat juang jihad fii sabilillah makin berkobar. Mereka
sendiri telah bersemboyan “hidup mulia atau mati syahid”. (Sejarah
Perang Hizbullah-Sabilillah Sunan Bonang, Kuntowijoyo, 1997).
Dalam setiap surat
perintah, sambutan atau diskusi, Jenderal Sudirman senantiasa mengutip
ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits. Misal, pada 7 Juni 1946 di Yogyakarta, dalam
rangka menanggapi dekrit presiden terhadap mobilisasi kekuatan Belanda,
Sudirman berpesan: “Kita dasarkan perjuangan sekarang ini atas dasar kesucian,
kami yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan melalaikan hamba-Nya yang
memperjuangkan sesuatu yang adil berdasarkan atas kesucian bathin. Jangan
cemas, jangan putus asa, meski kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran
dan menderita segala kekurangan, karena itu, kita insya Allah akan menang, jika
perjuangan kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan.
Ingatlah pada firman Tuhan dalam Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 138 yang
berbunyi: “Walaa tahinuu walaa tahzanuu, Wa ‘antumul a’launa ingkuntum
mu’miniin”, yang artinya “Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu
bersusah hati, sedang kamu sesuangguhnya lebih baik jika kamu mukmin.” (Pusat
Pembinaan Mental Mabes ABRI: Kata-Kata Mutiara Panglima Besar Jenderal
Sudirman, 1990 h.85)
Pengetahuan Sudirman
tentang sirah Rasul SAW juga dalam, bahkan strategi Rasul dalam menghindari
intaian pasukan Quraiys dipakai Sudirman saat menghindari intaian Belanda saat
bergerilya di Selatan Yogyakarta. Saat berada di desa Karangnongko, setelah
sebelumnya menetap di desa Sukaram, Sudirman memiliki firasat jika desa itu
tidak aman lagi bagi pasukannya. Beliau meninggalkan desa dengan taktik
penyamaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya saat
akan berhijrah. Usai shubuh Sudirman yang memiliki nama samara Pak De,
dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan dengan tidak mengenakan mantelnya.
Mantel yang biasa dipakai ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa
anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi
harinya, Heru Kesser memakai mantel tersebut, bersama Suparjo Rustam, berjalan
menuju selatan. Setibanya di sebuah rumah, barulah mantel tersebut dilepas.
Mereka bersama beberapa orang diam-diam menyelinap menyusul Sudirman lewat rute
yang lain. Sore harinya, pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya membombardir
rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam. Ini membuktikan
jika seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah
perjuangan dalam Islam.
Panglima Besar Jenderal
“Ustadz” Sudirman ini meninggal di usia 38 tahun, pada tanggal 29 Januari 1950,
tepat hari Ahad. Andai semua TNI meneladani beliau, pasti negeri ini akan aman
dan penuh dengan berkah. [ ]
Sumber: EraMuslim
digest edisi koleksi 10