Jakarta –Media Intajiyah Online, Mengikuti perkembangan
keislaman di nusantara dua dasawarsa terakhir yakni dari era Sembilan puluhan
sampai dua ribu sepuluan sampai sekarang memang cukup unik dan menarik.
Dibilang unik karena setiap fase waktu selalu ada tokoh atau kejadian yang
berulang-ulang hanya saja tokohnya yang berganti atau berbeda namun
substansinya sama.
Menjadi menarik karena peristiwa keislaman, kenegaraan dan
kebangsaan di Indonesia selalu menjadi catatan atau sorotan dunia internasional,
selain karena Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar
juga merupakan Negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar selain India, Cina
dan Amerika.
Pernyataan terakhir dari seorang Menag RI di era presiden
Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla ialah menyatakan bahwa Indonesia siap
menjadi kiblat pendidikan Islam di dunia. Disisi lain Indonesia juga sedang diuji
dan disorot oleh dunia terutama Amerika dan sekutunya dengan hadirnya sebuah
organisasi yang menamakan dirinya ISIS.
Ummat Islam dan kita seolah-olah sedang diperebutkan atau dibenturkan
antara satu dengan yang lainnya. Dalam kontek ke-Indonesia-an disodorkan
isu-isu keagamaan dan pluralism atau toleransi antar sesama komponen anak
bangsa, antara skulerisme, islamisme dan idiologi-idiologi lainnya yang
dimungkinkan bisa tumbuh secara sah di Indonesia.
Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia
sudah jelas menganut semboyan yakni Bhineka Tinggal Ika, meskipun ada
pengecualian faham atau idiologi seperti komunis yang jelas-jelas bertentangan
dengan jiwa dan falsafah bangsa Indonesia kita, ada dasar bernegara yaitu
Pancasila, ada bentuk Negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
landasan hukum berupa UUD 1945.
Pertanyaan mendasarnya bagi ummat Islam Indonesia adalah apakah
dengan adanya empat pilar di atas hak dan kebebasan menjalankan ajaran
(syariat) agama Islam lalu jadi terbatasi?
Atau hukum Islam yang mana yang masih belum bisa diterapkan yang
disebabkan oleh adanya empat pilar di atas? Lalau apa solusinya dalam kontek
berbangsa dan bernegara agar ummat Islam bisa menjalankan islammnya secara
kaaffah?
Jawaban dari pertanyaan di atas tidak akan penulis jawab
dalam kesempatan ini biarlah itu tugas mereka para pemimpin Negara dan
pemerintahan di negeri ini yang lebih kompeten dan mempunyai kapasitas untuk
membahasnya bersama seluruh komponen dan pemimpin organisasi islam, baik
organisasi politik Islam maupun organisasi masyarakatnya.
Penulis hanya ingin berbagi pengalaman saja tentang fenomena
keberagamaan dan keIslaman di Indonesia dari waktu ke waktu menuju pengamalan
Islam yang lebih kaffah atau menyeluruh melalui gerakan social maupun
pendidikan yang sudah pernah ada :
1.
Gerakan Peduli Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an
Gerakan ini ditandai dengan munculnya metode pembelajaran
membaca dan menulis Al-Qur’an, selain dari metode klasik yang sudah ada
sebelumnya seperti metode Al-Baghdadi atau Bagdadiyah, maka selanjutnya mulai
muncul inovasi dan kreativitas dari para praktisi dan ahli pendidikan Al-Quran.
Maka hadirlah yang namanya buku metode Qiroati, buku metode Iqro, buku metode
Al-Barqi, dll.
Tidak berhenti sampai di situ, buku metode pembelajaran baca
dan tulis Al-Quran terus berdatangan seperti ada metode A Ba Ta sta, metodeUmmi,
Al-Taisir, Yanbu’a, At-Thariq, As-Syafi’I dll. Beragamnya metode yang hadir
menjadi kekuatan tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Di Arab Saudi sendiri
terutama di Masjidil Harom sebagai kiblat umat Islam, metodenya hampir sama
seperti Bagdadiyah.
2.
Gerakan Tamana Pendidikan Al-Qur’an atau Taman
Al-Qur’an
Gerakan ini ditandai dengan hadirnya TPA-TPA yang berada di
bawah koordinasi BKPRMI (Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia)
yang berpusat di Istiqlal. Gerakan ini diperkuat dengan sokongan berbagai pihak
dan komponen masyarakat. Sehingga TPA tumbuh subur di nusantara baik yang
dikelola sendiri oleh masyarakat maupun yang berada di bawah BKPRMI.
Kehadiran TPA ini sempat hampir “menggeser” peran madrasah
diniah awaliyah yang sudah ada sebelumnya. Di beberapa tempat seperti di Masjid
Al-Furqon Prumnas Klender MDA berubah bentuk menjadi TPA. TPA tumbuh pesat
seiring dengan dicetaknya buku metode Iqro secara massif dan memasyarakat, dan
TPA menjadi tempat berkembangnya buku metode Iqro’.
3.
Gerakan Gemar Mengaji dan Membaca Al-Quran
Di masa pemerintahan Presiden SBY dan Wapresnya Boediono,
menteri agama pada waktu itu Surya Darma Ali pernah melaunching “Gerakan
Maghrib Mengaji”, yakni gerakan untuk
mengisi waktu yang utama (prime time) antara maghrib sampai Isya dengan
mengaji, baik di rumah, di TPA, di Musholla atau di Masjid serta dimana saja.
Di pihak lainnya yakni di masyarakat tumbuh juga kesadaran
baik dengan sendirinya maupun karena gerakan yang dicanangkan oleh kemenag pada
waktu itu. Maka hadirlah komunitas-komunitas pengajian seperti One Day One Juz (ODOJ), Majalis
Rosululah dll. Komunitas ini hadir sebagai bagian dari penyelamatan generasi
muda Islam agar mengaji tidak berhenti sampai di TPA saja.
4.
Gerakan Memahami, Mengamalkan dan Menghafalkan Al-Quran
Dalam hal pengamalan dan menghafal Al-Quran, gerakan yang
muncul ke permukaan ada gerakan One Day One Line (ODOL) dalam bidang menghafal
Quran, Komunitas Belajar Bahasa Arab dan Tafsir, dan komunitas yang terbaru ini
adalah yang dilaunching pada tangal 27-28 Desember 2014 di Masjid Istiqlal.
Komunitas itu bernama KUTUB (Komunitas Tahajud Berantai). Tokoh yang tampil antara lain DR. Amir Faisal Fath, Imam Masjid Istiqlal KH. Mustofa Ya'kub, dll.
Jika difahami secara filosofisnya, mengapa tahajud harus ada
komunitasnya ? padahal Tahajjud itu ibadah yang bersifat individu dan bukan
sesuatu yang wajib, maka jawabannya dikembalikan kepada konsep pemahaman dan
pengamalan Al-Qur’an itu sendiri. Allah berfirman dalam Al-Qur’an “Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat
tahajjud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu” (Al-Isro : 79)
Dengan gerakan saling mengingatkan secara berantai dan
berjamaah baik melalui media social, HP atau Watshup maka amalan yang mulia ini
bisa terlaksana dengan baik dan sempurna (insya Allah). Dan ternyata untuk mengamalkan Islam secara
kaffah itu harus dimulai dari diri umat Islamnya dulu masing-masing, lalu di
dalam berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara.
Selain dengan pertimbangan tadi di atas, saling mengingatkan
tahajud secara berantai juga merupakan perintah Allah dan ajaran/anjuran dari
nabi kita Rosulullah Muhammad SAW. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan
shalat dan sabar dalam mengerjakannya” (Thoha : 132). Dalam hadits
digambarkan Allah akan memberkahi suami yang membangunkan istrinya atau
sebaliknya istri yang membangunkan suaminya untuk shalat malam.
Maka pengertian berantai ini bisa
memiliki 3 arti atau lebih yakni berantai diantara sesame anggota keluarga, berantai
diantara tetangga yang ada baik melalui speaker masjid atau alat komunikasi
lainnya, maupun berantai diantara sesame komunitas yang ada seperti komunitas
tahajud berantai (KUTUB).
5.
Gerakan Mendakwahkan dan Memasyarakatkan Nilai
Islam dan Al-Qur’an
Gerakan ini seharusnya bukan hanya menjadi tugas para Ustadz
para Kiyai atau para Muballigh saja, atau hanya tugas dari lembaga pendidikan
saja, atau lembaga keislaman saja seperti lembaga dakwah, majelis taklim,
masjid dan musholla saja, tetapi harus menjadi tugas semua umat Islam. Jika
tugas amar ma’ruf dan nahi munkar ini sudah berjalan dengan baik pada setiap
umat Islam, maka keberkahan dan kebaikan akan hadir di tengah-tengah
masyarakat.
Allah SWT berfirman “Dan
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa
yang telah mereka kerjakan” (Al-A’raf : 96)
Semoga dengan hadirnya gerakan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar yang ada di negeri ini lebih membawa kemashlahatan dan kesejahteraan
bagi umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya dan menjadi
rahmat bagi semesta alam, bukan membawa keburukan, fitnah apalagi menjadi penyeru
kepada kekerasan/kedzaliman yang berujung pada prilaku terror atau ketidak adilan
apalagi menjelma menjadi organisasi “teroris”, na’udzubillahi min dzalik.
Wallahu a’lam [DM].
Penulis adalah anggota Komunitas ODOJ Unit 6 Group 345
Penulis adalah anggota Komunitas ODOJ Unit 6 Group 345