( Foto ilustrasi, 10 Muharram Tanggal Selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun,
Sumber : Group BB Perwira)
Sebelum membahas secara khusus kepada inti pembahasan yang
foundamental yakni 5 metode utama dari para ulama dalam mensukseskan pendidikan
karakter, moral dan mental, saya ingin berbagi gagasan dulu mengapa saya
menggunakan 3 istilah terkait dengan pendidikan sikap atau sifat dalam judul di
atas, yaitu kata karakter, moral dan mental.
Hal ini menurut hemat penulis menarik untuk kita kaji,
mengapa Kurikulum 2013 menggunakan istilah karakter yang dikembangkan menjadi
dua yaitu sikap spiritual dan sikap social. Sementara hujjatul Islam Imam
Al-Ghozali dalam buku atau kitabnya memakai istilah moral yang dikembangkan
menjadi akhlak baik yaitu akhlakul katrimah atau akhlakul mahmudah dan akhlak buruk
atau akhlakul madmumah.
Tanpa bermasud mempolitiisi, jelang pilpres 2014 penulis
memperhatikan gesture, gaya, pendekatan maupun pemaparan dan pemikiran ide
masing-masing Capres dan Cawapres baik melalui kandidatnya langsung maupun para
tim suksesnya atau tokoh-tokoh yang ada di belakangnya masing-masing. Maka yang
menarik dari pasangan Jokowi-JK adalah apa yang disebut dengan “Revolusi
Mental”.
Dari sisi perang ide dan gagasan dalam hal pendidikan sikap
sebagaimana yang diharapkan oleh kurikulum 2013 dan hujjatul Islam Imam Al-Ghozali,
saya sedikit agak mempunyai feeling siapa sebenarnya yanga akan banyak dipilih oleh rakyat Indonesia pada
Pilpres 2014. Waktu itu saya pernah menyampaikan ide agar lebih seimbang
bagaimana tim Prabowo-Hatta mengangkat tema “konsitusi moral ”.
Kedua istilah tersebut bisa jadi saling melengkapi,
“Revolusi Mental” tidak akan sukses tanpa “Konstitusi Moral”, begitu pula
sebaliknya “Konstitusi Moral ” tidak akan sukses tanpa adanya “Revolusi
Mental”. Dalam bahasa yang lain maka keshalehan pribadi harus dilengkapi dengan
keshalehan social. Itulah (mungkin saya tidak salah sangka) makanya dalam
kurikulum 2013 ada istilah “Sikap Spiritual” dan “Sikap Sosial”. Atau dalam ajaran islam disebut “hablum
minallah dan hablum minannas”.
Hubungan yang baik kepada Allah dan hubungan yang baik
kepada manusia. Kembali kepada tema di atas bahwa menurut ulama bidang
pendidikan (taklim atau tarbiyah) yaitu DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam
kitabnya “Tarbiyatul Aulad Fil Islam” maka ada ada 5 masalah dan juga sekaligus
solusinya yang terkait metode pendidikan akhlak, karakter, ,oral atau mental.
Kelima metode tersebut adalah :
1.
Metode Keteladanan atau penulis mengaitkannya dengan istilah metode
Peraturan
2.
Metode Adat Kebiasaan atau Pembiasaan
3.
Metode Nasehat atau penulis menyebutnya dengan
istilah metode Penyadaran
4.
Metode dengan Memberikan Perhatian atau penulis
menambahkannya dengan Doa/Pengaduan
5.
Metode dengan Membarikan Hukuman atau penulis
istilahkan dengan Pembiaran
Nah, kelima metode itulah yakni metode Peraturan, Pembiasaan,
Penyadaran, Pengaduan dan Pembiasaan atau disingkat dengan metode 5-P atau 5-An
yang penulis pandang sebagai metode foundamental dalam pendidikan karakter
menurut kacamata yang umum, atau pendidikan nasional dan menurut kacamata
pendidikan keagamaan, atau pendidikan Islam.
Selanjutnya mari kita bahas satu persatu :
1.
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode
“influentif” yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan
membentuk anak di dalam moral, spiritual dan social. Hal ini disebabkan oleh
karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya
dalam tindak-tanduknya, tata santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak
dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan
ataupun perbuatan, baik material ataupun spiritual, diketahui atau tidak
diketahui.
Dalam posisi inilah bisa jadi yang
membedakan antara menjadi guru dan menjadi menteri, jika menjadi menteri boleh
merokok dan bertato maka menjadi guru itu tidak ada atau tidak boleh ada yang
merokok dan bertato, begitu juga dalam hal syarat pendidikan, jika menjadi
menteri boleh tamatan SMP atau SMA maka menurut UU atau konstitusi yang berlaku
di Negara kita tercinta untuk menjadi guru syarat pendidikannya harus S1.
Lebih lanjut Allah berfirman “Tidak layak
bagi seorang yang sudah diberi kitab oleh Allah serta hikmah dan kenabian,
kemudian dia berkata kepada manusia “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah
Allah”, tetapi hendaklah berkata “jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena
kamu mengajarkan alkitab dan karena kamu mempelajarinya”.
2.
Pendidikan dengan adat kebiasaan adalah metode
yang digunakan berupa pemeliharaan fitrah anak sejak awal kehadirannya sampai
ia dewasa. Bahwa sang anak diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni, agama
yang lurus serta beriman kepada Allah. Tugas pendidik bagaimana fitrah itu terjaga
atau tidak sampai rusak baik karena dirinya sendiri atau temannya dan
lingkungan.
3.
Pendidikan dengan nasehat sangat penting, karena
dalam pembentukan keimanan, persiapan moral, spiritual dan social anak, adalah
dibentuk atau ditanamkan dengan nasehat. Hal ini disebabkan karena nasehat
dapat membukakan mata anak-anak pada sesuatu, mendorongnya pada situasi yang
luhur, dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan
prinsip-prinsip atau kaidah.
4.
Pendidikan dengan perhatian, yaitu dengan cara
mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkemnangan anak dalam
pembinaan aqidah dan moral, persiapan spiritual dan social, disamping selalu
bertanya tentang situasi pendidkan jasmani, dan daya hasil ilmiahnya. Oleh
karena itu penulis menyebutnya dengan pengaduan atau pengajuan. Kalau pengajuan
baik berupa keberatan atau sebaliknya dukungan langsung kepada yang
bersangkutan atau secara tidak langsung (doa) kepada yang menguasainya atau
yang memeliharanya.
5.
Metode pendidikan dengan hukuman, karena pada
dasarnya hukuman dalam islamsyariat
ialah hukuman yang lurus dan adil, prinsip-prinsipnya universal,
berkisar disekitar penjagaan asasi yang tidak bisa dilepas oleh umat manusia.
Manusia tak bisa hidup tanpa hokum. Dalam hal ini para imam mujtahid serta para
ulama tauhid dan terutama ushul fiqih telah membaginya kedalam lima keharusan
atau perkara pokok (al-kulliyatul khomsi) yakni menjaga agama (hifdzud din),
menjaga jiwa (hifdzul nafsi), menjaga kehormatan (hidzul nasl), menjaga akal
(hifdzul aqli), dan menjaga harta benda (hifdzul mal).
Kenapa penulis menyebutnya dengan metode
pembiaran? Maksudnya bukan berarti dibiarkan tanpa ditangani tapi dibiarkan
artinya diberitanggung jawab atau konsekwensi bahwa jika kamu berbuat semaunya
pasti akan ada ganjarannya atau hukumannya. Sebagaimana hadits Rosulullah SAW
“Apabila kamu sudah tidak punya malu lagi maka berbuatlah sesuka hatumua”.
Maksud berbuatlah sesuka hatimu artinya bukan
berarti dibiarkan tetapi yang bersangkutan akan berhadapan dengan hokum Allah
dan hokum buatan manusia. Wallahu a’lam [DM].
0 komentar:
Posting Komentar