Sabtu, 22 Oktober 2016

Filled Under:

Refleksi Hari Santri Nasional: "Inilah Hebatnya Tentara Allah"






Meskipun hari Santri Nasional sangat erat kaitannya dengan "Resolusi Jihad" NU pada masa perang kemerdekaan, tetapi sosok yang satu ini tidak terlepas dari sejarah yang melatar belakangi pemerintah menetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Dialah sosok panglima yang berjiwa santri ksatria, Jenderal Sudirman. Tanggal 24 Januari 1916 Sudirman dilahirkan di Purwokerto daerah Karesidenan Banyumas Jawa Tengah. Sebagai seorang ustadz yang terpanggil untuk berjuang membebaskan dan mempertahankan kemerdekaan negerinya, Jenderal Sudirman meyakini jika perjuangan ini merupakan jihad fii sabilillah, melawan kaum kafir. Sebab itu dalam situasi yang paling genting sekalipun, Sudirman tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Selain ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, Sudirman juga sering menunaikan shalat lail dan puasa sunnah (Asren Nasution, h.71).

“Jenderal Sudirman selalu menjaga ibadah-ibadahnya. Bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi jiwanya. Dalam gerilya di selatan Yogya dalam perang kemerdekaan, Sudirman yang dalam kondisi sakit selalu menjaga shalatnya juga shalat malamnya. Bahkan tak jarang dia juga berpuasa senin kamis. Di setiap kampung yang ia singgahinya, dia selalu mendirikan pengajian dan member ceramah keagamaan kepada para pasukannya,” tutup Mayor SGH. Bukhori, perwira Hisbullah yang sempat ditemukan penulis di tahun 1966 sebelum beliau meninggal.Kesholihan Sudirman ini sampai ke seluruh penjuru Nusantara. Sebab itu, para pejuang Aceh yang juga meyakini jika perangkemerdekaan merupakan jihad fii sabilillah, begitu mendengar panglimanya yang shalih ini sakit, mereka segera mengirim bantuan berupa 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau. (Rizki Ridyasmara, Grilya Salib di Serambi Mekkah, dari Zaman Portugis hingga Pasca Tsunami 2006 h.100)

Sebagai pucuk pimpinan tentara, Jenderal Sudirman membangun jejaring yang kuat antara pasukannya dengan laskar-laskar yang berpusat di pondok-pondok pesantren. Saat pertempuran di Magelang dan kemudian di Ambarawa, Sudirman sering terlihat ada di Payaman, Utara Magelang, dan bekerjasama dengan pondok pesantren yang dipimpin Kiai Sirajd. Pondok pesanten ini memiliki pasukan santri yang banyak dan militan, dikirim ke Ambarawa dan berhasil memukul mundur Inggris/NICA. (Asren Nasution, h.91)

Pada pertengahan 1946, Jenderal Sudirman mengunjungi lascar Hizbullah-Sabilillah Surakarta yang hendak berangkat ke medan jihad di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di kediaman Kiai Haji Adnan di tegalsari. Dihadapan ratusan laskar, Jenderal Sudirman mengawali sambutannya dengan mengutip Al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 10-11 dalam bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan sendiri: 

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” 

Sambutan Jenderal Sudirman itu sangat mengena di hati para anggota Hizbullah-Sabilillah Surakarta. Semangat juang jihad fii sabilillah makin berkobar. Mereka sendiri telah bersemboyan “hidup mulia atau mati syahid”. (Sejarah Perang Hizbullah-Sabilillah Sunan Bonang, Kuntowijoyo, 1997).

Dalam setiap surat perintah, sambutan atau diskusi, Jenderal Sudirman senantiasa mengutip ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits. Misal, pada 7 Juni 1946 di Yogyakarta, dalam rangka menanggapi dekrit presiden terhadap mobilisasi kekuatan Belanda, Sudirman berpesan: “Kita dasarkan perjuangan sekarang ini atas dasar kesucian, kami yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berdasarkan atas kesucian bathin. Jangan cemas, jangan putus asa, meski kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran dan menderita segala kekurangan, karena itu, kita insya Allah akan menang, jika perjuangan kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan. Ingatlah pada firman Tuhan dalam Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 138 yang berbunyi: “Walaa tahinuu walaa tahzanuu, Wa ‘antumul a’launa ingkuntum mu’miniin”, yang artinya “Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah hati, sedang kamu sesuangguhnya lebih baik jika kamu mukmin.” (Pusat Pembinaan Mental Mabes ABRI: Kata-Kata Mutiara Panglima Besar Jenderal Sudirman, 1990 h.85)

Pengetahuan Sudirman tentang sirah Rasul SAW juga dalam, bahkan strategi Rasul dalam menghindari intaian pasukan Quraiys dipakai Sudirman saat menghindari intaian Belanda saat bergerilya di Selatan Yogyakarta. Saat berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukaram, Sudirman memiliki firasat jika desa itu tidak aman lagi bagi pasukannya. Beliau meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya saat akan berhijrah. Usai shubuh Sudirman yang memiliki nama samara Pak De, dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan dengan tidak mengenakan mantelnya. Mantel yang biasa dipakai ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya, Heru Kesser memakai mantel tersebut, bersama Suparjo Rustam, berjalan menuju selatan. Setibanya di sebuah rumah, barulah mantel tersebut dilepas. Mereka bersama beberapa orang diam-diam menyelinap menyusul Sudirman lewat rute yang lain. Sore harinya, pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya membombardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam. Ini membuktikan jika seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.

Panglima Besar Jenderal “Ustadz” Sudirman ini meninggal di usia 38 tahun, pada tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Andai semua TNI meneladani beliau, pasti negeri ini akan aman dan penuh dengan berkah. [  ]

Sumber: EraMuslim digest edisi koleksi 10

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 MAJALAH INTAJIYAH.