(Gedung SDIT Thariq Bin Ziyad Pondok Hijau, Kel. Pengasinan Kec. Rawalumbu
Kota Bekasi pertama kali dibangun tahun 1997 oleh Yayasan Thariq Bin Ziyad, Dok. Intajiyah )
compassionate school
Beberapa saat lalu
penulis medapatkan broadcash tentang pendidikan karakter atau adab dengan judul
“Sudahkah sekolah kita beradab?” di akhir broadcashting itu tertulis :
Kita harus segera
mengubah system pendidikan kita yang masih berorientasi pada ta’lim
(mengajarkan) menjadi ta’dib (menanamkan adab). Dalam konsep compassionate
school, ta’dib harus diterapkan secara menyeluruh (wholse school approach )
meliputi tiga area, pertama SDM yaitu guru, karyawan, orangtua hingga satpam,
kedua kurikulum, dan yang ketiga iklim atau hidden curricullum
Sebuah sekolah
bukanlah parbrik yang melahirkan siswa-siswa pintar. Tapi sebuah lingkungan
yang membuat semua unsure di dalamnya menjadi lebih beradab. Untuk mengukur
apakah sebuah sekolah sudah menjadi compassionate school tak serumit standar
ISO. Cobalah berinteraksi dengan satpam sekolah, amatilah bagaimana guru
berinteraksi, siswa bersikap.
Al-Ghozali dan Metode Pendidikan Agama
Menurut Al-Ghozali pendidikan akhlak, adab atau karakter
sangat terkait erat dengan pendidikan agama. Oleh sebab itu maka pendidikan
agama harus ditanamkan sejak sedini mungkin, agar tertanam baik dalam hati
sanubari anak, selain itu penanaman agama pada fase awal ini tidak perlu
membutuhkan dalil yang rumit. Anak hanya diminta menghafal kaidah-kaidah dan
dasar-dasar agama.
Baru selanjutnya anak tinggal difahamkan, diyakinkan dan
dibenarkan oleh hati, akal dan lisannya. Pertama kali yang harus dilakukan dalam
pendidikan agama sejak dini ialah membina dan mengisi hati anak kecil dengan
makrifah, lalu mendidik jiwanya dengan beribadah dan mengenal Allah secara
mendalam dan mendekatkan diri kepadanya (taqorrub ilallah).
Pada tahap berikutnya (di usia remaja atau pemuda) metode
pendidikan agama bukan berarti menghindai atau melarang untuk berdebat dan
berbicara. Tetapi menurut Al-Ghozali metode ini lebih banyak mendatangkan
kerugian dibandingkan keuntungannya. Oleh karenanya al-Quran mengajarkan dengan
tiga cara yang berurutan tapi cara yang terakhir ini diberi catatan atau
prasyarat yaitu billati hia ahsan (debatnya dengan cara yang baik atau ihsan).
Dengan penjelasan di
atas maka Al-Ghozali sebagai salah satu tokoh pendidikan spiritual dan akhlak
telah menegaskan metode tertentu bagi pengajaran agama, bahwa pengajaran agama
diawali dengan pertama, Hafalan
lalu Pemahaman, dilanjutkan dengan Keyakinan dan Pengakuan
atas informasi atau sumber yang ada serta dilanjutkan dengan pengakuan nyata dan kuat atas
berbagai bukti atau dalil yang ada.
Metode Al-Ghozali ini ternyata diikuti oleh kalangan aktivis
ajaran Gerejani dan gerakan sekolah nasrani. Gerakan ini didorong oleh factor yang
kuat yang disadari oleh kalangan gereja bahwa mulai timbul kesadaran di
masyarakat bahwa perlu pengetahuan yang lebih dalam tentang hakikat agama. Pengetahuan
yang bukan didirikan diatas indoktrinasi atau peniruan belaka sebagaimana
keadaan sebelumnya, akan tetapi pengetahuan yang berdiri di atas dalil dan
bukti atau Tanya-jawab dan diskusi.
Anselm, seorang kepala uskup Kanter Burry di Inggris (1033-1109
M) salah seorang pemuka gereja sekolah pada abad itu dalam salah satu karya
tulisnya (Monoloque on Method in Which One May Account for his Faith) mengatakan : “Saya tidak mencari kepuasan hati
terhadap agama sebelum menganutnya, tetapi saya menganut agama saya dan
mengakuinya sebelum mencari bukti-bukti kebenarannya”
Dalam kesempatan lain ia juga berkata: “Bahwa seorang nashrani harus
sampai pada bukti-bikti dan dalil-dalil agama setelah ia punya akidah dan
beriman kepadanya, dan ia tidak akan sampai kepada iman melalui jalan
bukti-bukti dan dalil-dalil”. Hal ini menunjukan bahwa pengajaran agama
waktu itu mengikuti langkah-langkah yang kira-kira terdapat dalam nasehat
Al-Ghazali yaitu berakidah dan beriman lebih dahulu dan setelah itu baru
dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti.
Namun permaslaahannya adalah mampukah pemuka agama nashrani sekarang
itu menghadirkan bukti-bukti atau dalil-dalil tentang konsep teologi atau ketuhanannya
secara jelas dan terang agar diterima oleh hati dan logika serta akal dan fitrah manusia pada umumnya? Terkecuali kitab
suci Al-Quran sebagai kitab yang membenarkan dan menyempurnakan kitab-kitab
sebelumnya yang pernah diturunkan kepada para nabi dan Rosul berani menjamin
keotentikannya, tingal kita sebagai manusia mau beriman atau tidak? Wallahu a’alam.[DM].
0 komentar:
Posting Komentar