Rabu, 22 Oktober 2014

Filled Under:

Compassionate School, Imam Al-Ghozali, dan Metode Pendidikan Agama

                  (Gedung SDIT Thariq Bin Ziyad Pondok Hijau, Kel. Pengasinan Kec. Rawalumbu 
         Kota Bekasi pertama kali dibangun tahun 1997 oleh Yayasan Thariq Bin Ziyad, Dok. Intajiyah )

compassionate school 

Beberapa saat lalu penulis medapatkan broadcash tentang pendidikan karakter atau adab dengan judul “Sudahkah sekolah kita beradab?” di akhir broadcashting itu tertulis :

Kita harus segera mengubah system pendidikan kita yang masih berorientasi pada ta’lim (mengajarkan) menjadi ta’dib (menanamkan adab). Dalam konsep compassionate school, ta’dib harus diterapkan secara menyeluruh (wholse school approach ) meliputi tiga area, pertama SDM yaitu guru, karyawan, orangtua hingga satpam, kedua kurikulum, dan yang ketiga iklim atau hidden curricullum

Sebuah sekolah bukanlah parbrik yang melahirkan siswa-siswa pintar. Tapi sebuah lingkungan yang membuat semua unsure di dalamnya menjadi lebih beradab. Untuk mengukur apakah sebuah sekolah sudah menjadi compassionate school tak serumit standar ISO. Cobalah berinteraksi dengan satpam sekolah, amatilah bagaimana guru berinteraksi, siswa bersikap.

Rasakan atmosfirnya, Jika prestasi akademik bisa dilihat di selembar kertas, budi pekerti hanya bisa kita rasakan. Lalu dari mana kita memulainya ? kalau bukan dari pendidikan agama.

Al-Ghozali dan Metode Pendidikan Agama

Menurut Al-Ghozali pendidikan akhlak, adab atau karakter sangat terkait erat dengan pendidikan agama. Oleh sebab itu maka pendidikan agama harus ditanamkan sejak sedini mungkin, agar tertanam baik dalam hati sanubari anak, selain itu penanaman agama pada fase awal ini tidak perlu membutuhkan dalil yang rumit. Anak hanya diminta menghafal kaidah-kaidah dan dasar-dasar agama.

Baru selanjutnya anak tinggal difahamkan, diyakinkan dan dibenarkan oleh hati, akal dan lisannya. Pertama kali yang harus dilakukan dalam pendidikan agama sejak dini ialah membina dan mengisi hati anak kecil dengan makrifah, lalu mendidik jiwanya dengan beribadah dan mengenal Allah secara mendalam dan mendekatkan diri kepadanya (taqorrub ilallah).

Pada tahap berikutnya (di usia remaja atau pemuda) metode pendidikan agama bukan berarti menghindai atau melarang untuk berdebat dan berbicara. Tetapi menurut Al-Ghozali metode ini lebih banyak mendatangkan kerugian dibandingkan keuntungannya. Oleh karenanya al-Quran mengajarkan dengan tiga cara yang berurutan tapi cara yang terakhir ini diberi catatan atau prasyarat yaitu billati hia ahsan (debatnya dengan cara yang baik atau ihsan).

 Dengan penjelasan di atas maka Al-Ghozali sebagai salah satu tokoh pendidikan spiritual dan akhlak telah menegaskan metode tertentu bagi pengajaran agama, bahwa pengajaran agama diawali dengan  pertama, Hafalan lalu Pemahaman, dilanjutkan dengan Keyakinan dan Pengakuan atas informasi atau sumber yang ada serta dilanjutkan dengan  pengakuan nyata dan kuat atas berbagai bukti atau dalil yang ada.

Metode Al-Ghozali ini ternyata diikuti oleh kalangan aktivis ajaran Gerejani dan gerakan sekolah nasrani. Gerakan ini didorong oleh factor yang kuat yang disadari oleh kalangan gereja bahwa mulai timbul kesadaran di masyarakat bahwa perlu pengetahuan yang lebih dalam tentang hakikat agama. Pengetahuan yang bukan didirikan diatas indoktrinasi atau peniruan belaka sebagaimana keadaan sebelumnya, akan tetapi pengetahuan yang berdiri di atas dalil dan bukti atau Tanya-jawab dan diskusi.

Anselm, seorang kepala uskup Kanter Burry di Inggris (1033-1109 M) salah seorang pemuka gereja sekolah pada abad itu dalam salah satu karya tulisnya (Monoloque on Method in Which One May Account for his Faith)  mengatakan : “Saya tidak mencari kepuasan hati terhadap agama sebelum menganutnya, tetapi saya menganut agama saya dan mengakuinya sebelum mencari bukti-bukti kebenarannya”

Dalam kesempatan lain ia juga berkata: “Bahwa seorang nashrani harus sampai pada bukti-bikti dan dalil-dalil agama setelah ia punya akidah dan beriman kepadanya, dan ia tidak akan sampai kepada iman melalui jalan bukti-bukti dan dalil-dalil”. Hal ini menunjukan bahwa pengajaran agama waktu itu mengikuti langkah-langkah yang kira-kira terdapat dalam nasehat Al-Ghazali yaitu berakidah dan beriman lebih dahulu dan setelah itu baru dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti.


Namun permaslaahannya adalah mampukah pemuka agama nashrani sekarang itu menghadirkan bukti-bukti atau dalil-dalil tentang konsep teologi atau ketuhanannya secara jelas dan terang agar diterima oleh hati dan logika serta akal dan  fitrah manusia pada umumnya? Terkecuali kitab suci Al-Quran sebagai kitab yang membenarkan dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya yang pernah diturunkan kepada para nabi dan Rosul berani menjamin keotentikannya, tingal kita sebagai manusia mau beriman atau tidak? Wallahu a’alam.[DM].

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 MAJALAH INTAJIYAH.